JAKARTA: Satu setengah tahun yang lalu, seorang mahasiswi salah sebuah institusi perguruan tinggi di Indonesia dipanggil pensyarah pembimbingnya ke salah satu ruangan.
Suara.com melaporkan, di ruangan itu, pensyarah tersebut melakukan penderaan seksual terhadap anak didiknya itu.
“Dipegang tangannya dan dipaksakan menyebut ‘saya cinta kamu’,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi, Nadiem Makarim di salah satu acara.
Nadiem melanjutkan ceritanya: “Lalu secara paksa, dia dicium oleh pensyarahnya”.
Setelah tindakan jijik itu berlaku di ruang kampus, mangsa mengadu kepada rakannya dan beberapa staf akademik.
Dia berharap mendapatkan dukungan dan bantuan daripada mereka untuk menghadapi situasi itu.
Bagaimanapun mangsa berasa semakin tertekan.
“Bahawa nanti bagaimana orang akan melihat kamu kalau kamu tidak punya bukti, bagaimana cara membuktikannya, dan lain-lain,” kata Nadiem.
Pelajar itu tidak mendapatkan jalan keluar. Dia hadapi hari-hari penuh depresi, takut hingga trauma dengan pensyarah pembimbingnya.
Mangsa akhirnya memutuskan untuk ke luar dari kampus.
Masalah yang dialami mahasiswi yang diceritakan Nadiem barangkali hanya satu di antaranya banyak kes di lingkungan kampus yang tak pernah terungkap kerana posisi mangsa yang lemah.
Kampus bukan lagi menciptakan generasi penerus yang berprestasi, tetapi membuat seseorang trauma.
“Ini adalah suatu trauma yang sangat mendalam secara psikologi, sangat sulit untuk memulihkan daripada trauma ini, dan kesannya seumur hidup. Inilah alasan kenapa kita sebagai negara harus menyoroti isu ini segera dan katakan tidak kepada tindakan kekerasan seksual secara tegas,” kata Nadiem.